hi friends

Minggu, 17 Februari 2013


MultiplyLogo
The Multiply Marketplace




A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
B. PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
1. Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a. Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b. Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
c. Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
d. Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
e. Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
1. Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
C. TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1. Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memper­padukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a. Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b. Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat men­ciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b. Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyim­pangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
No
Budaya Politik
Uraian / Keterangan
1.
Parokial
a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.
c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.
d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.
e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.
f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.
2.
Subyek/Kaula
a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.
b. Para subyek menyadari akan otoritas pemerintah
c. Hubungannya terhadap sistem plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.
d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e. Orientasi subyek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.
3.
Partisipan
a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b. Bentuk kultur dimana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap obyek politik
d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.
Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model Kebudayaan Politik
Demokratik Industrial
Sistem Otoriter
Demokratis Pra Industrial
Dalam sistem ini cukup banyak aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar.
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
Dalam sistem ini hanya terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam peme-rintahan
Pola kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjuk­kan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembang­kan pola kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembang­kan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat. Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat, yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
D. SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA POLITIK
1. Pengertian Umum
Sosialisasi Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman­-pengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik, merupakan proses yang ber­langsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap­-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi
1. Pengertian Menurut Para ahli
Berbagai pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan, namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama. Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik menurut para ahli.
  1. David F. Aberle, dalam “Culture and Socialization
Sosialisasi politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus dipelajari.
  1. Gabriel A. Almond
Sosialisasi politik menunjukkan pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
  1. Irvin L. Child
Sosialisasi politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan standar-standar dari kelompoknya.
  1. Richard E. Dawson dkk.
Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa.
  1. S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration
Sosialisasi politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain, dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
  1. Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya tentang politik.
  1. Alfian
Mengartikan pendidikan politik sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni:
pertama : sosialisasi politik hendaknya dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus selama peserta itu hidup.
Kedua : sosialisasi politik dapat berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga, sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak politik langsung.
Dari sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai berikut.
  1. Sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari pengalaman/ pola-pola aksi.
  2. memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dan kelompok dalam batas-batas yang luas, dan lebih khusus lagi, berkenaan pengetahuan atau informasi, motif-motif (nilai-nilai) dan sikap-sikap.
  3. sosialisasi itu tidak perlu dibatasi pada usia anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini paling penting), tetapi sosialisasi berlangsung sepanjang hidup.
  4. bahwa sosialisasi merupakan prakondisi yang diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara implisit maupun eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di atas, menurut Michael Rush & Phillip Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi tersebut di atas.
Pertama : seluas manakah sosialisasi itu merupakan proses pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali untuk menguji hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada atau tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh. Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi dan bagi proses perubahan.
Kedua : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian terbesar sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun pada perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran kita terhadap masa sekarang.”
Jadi, walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka, sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman tersebut.
Kiranya kita dapat memahami bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
2. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David Easton dan Robert Hess mengemukakan bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti "keterikatan kepada sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu sebagai berikut.
  1. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden dan polisi.
  2. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal, yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
  3. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
  4. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
  1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi pada umumnya
  2. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material mobilitas sosial.
  3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
  4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan dan ketentraman.
  5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
  6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan pemerin­tahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1) Keluarga (family)
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak.
2) Sekolah
Di sekolah melalui pelajaran civics education (pendidikan kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3) Partai Politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati tradisi mereka masing-masing.
4. Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyang­kut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat pada negara Ghana.
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
  1. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat indus­trialisasi dan pendidikan.
  2. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
  3. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan komunitas­komunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5. Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat perubahan politik, semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond dan Verba mengemukakan hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpul­kan bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu.
Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan di Meksiko merupakan bentuk campuran antara penerimaan terhadap teori politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi, sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek. Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6. Sosialisasi Politik dan Komunikasi Politik
Sosialisasi politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara, fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan sekunder yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan tersebut menyangkut pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output otorotatif-nya.

Dalam proses sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik, berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah, kelompok kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut untuk seterusnya.
Almond, mengatakan bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes) dan bisa pula tidak nyata (laten).
Sosialisasi Politik Manifes
Sosialisasi Politik Laten
Berlangsung dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output sistem politik.
Dalam bentuk transmisi informasi, nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output mengenai sistem sosial yang lain seperti keluarga yang mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan output sistem politik yang analog (adanya persamaan).
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun teman sebaya.
Berbeda dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus melalui badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan pada kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam tindakan pemerintah.
A. E. PERAN SERTA BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
1. Pengertian Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam kehidupan politik (partisipan).
Bagi sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik, bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan mengevaluasi implementasi kebijakan tersebut.
Partisipasi Politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah. Menurut Myron Weiner, terdapat lima penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut :
a. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik.
c. Pengaruh kaum intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d. Konflik antar kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas hak pilih rakyat.
e. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.
2. Konsep Partisipasi Politik
Dalam ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting, terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku) dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian partisipasi politik terutama banyak dilakukan di negara-negara berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dalam ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana bentuk praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang konsep partisipasi politik.
Hal pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi politik, yang disampaikan dalam tabel berikut :
Sarjana
Konsep
Indikator
Kevin R. Hardwick
Partisipasi politik memberi perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah, warga negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka terhadap pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut.
· Terdapat interaksi antara warga negara dengan pemerintah
· Terdapat usaha warga negara untuk mempengaruhi pejabat publik.
Miriam Budiardjo
Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).
· Berupa kegiatan individu atau kelompok
· Bertujuan ikut aktif dalam ke-hidupan politik, memilih pim-pinan publik atau mempenga-ruhi kebijakan publik.
Ramlan Surbakti
Partisipasi politik ialah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan menyangkut atau mempengaruhi hidupnya.
Partisipasi politik berarti keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
· Keikutsertaan warga negara dalam pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara biasa
Michael Rush dan Philip Althoft
Partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
· Berwujud keterlibatan individu dalam sistem politik
· Memiliki tingkatan-tingkatan partisipasi
Huntington dan Nelson
Partisipasi politik ... kegiatan warga negara preman (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
· Berupa kegiatan bukan sikap-sikap dan kepercayaan
· Memiliki tujuan mempengaruh kebijakan publik
· Dilakukan oleh warga negara preman (biasa)
Herbert McClosky
Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.
· Berupa kegiatan-kegiatan sukarela
· Dilakukan oleh warga negara
· Warga negara terlibat dalam proses-proses politik
Berdasarkan beberapa defenisi konseptual partisipasi politik yang dikemukakan beberapa sarjana ilmu politik tersebut, secara substansial
placeholder
vUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2002
TENTANG
PARTAI POLITIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat adalah bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diakui dan
dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. bahwa usaha untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk
mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis, dan
berdasarkan hukum;
c. bahwa kaidah-kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat, transparansi, keadilan, aspirasi, tanggung jawab, dan perlakuan
yang tidak diskriminatif dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
perlu diberi landasan hukum;
d. bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat
yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang
menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran;
e. bahwa merupakan kenyataan sejarah bangsa Indonesia, Partai Komunis
Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme telah melakukan pengkhianatan terhadap bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, oleh karena itu Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor
XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara
Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap
Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme harus tetap diberlakukan dan
dilaksanakan secara konsekuen;
f. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perubahan
ketatanegaraan, serta atas dasar amanat Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan
Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002
tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR,
BPK, MA pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 2002, karena itu perlu diperbaharui;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf f perlu dibentuk undang-undang tentang partai politik;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 22E ayat
(3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama antara
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga
negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak
dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat,
bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.
BAB II
PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK
Pasal 2
(1) Partai politik didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima
puluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21
(dua puluh satu) tahun dengan akta notaris.
(2) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan
tingkat nasional.
(3) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan
pada Departemen Kehakiman dengan syarat :
a. memiliki akta notaris pendirian partai politik yang sesuai dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya;
b. mempunyai kepengurusan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh
persen) dari jumlah provinsi, 50% (lima puluh persen) dari jumlah
kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25%
(dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap
kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. memiliki nama, lambang, dan tanda gambar yang tidak mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, dan tanda gambar partai politik lain; dan
d. mempunyai kantor tetap.
Pasal 3
(1) Departemen Kehakiman menerima pendaftaran pendirian partai politik
yang telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pengesahan partai politik sebagai badan hukum dilakukan oleh Menteri
Kehakiman selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah penerimaan
pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengesahan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 4
Dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga,
nama, lambang, dan tanda gambar partai politik didaftarkan ke Departemen
Kehakiman.
BAB III
ASAS DAN CIRI
Pasal 5
(1) Asas partai politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Setiap partai politik dapat mencantumkan ciri tertentu sesuai dengan
kehendak dan cita-citanya yang tidak bertentangan dengan Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
undang-undang.
BAB IV
TUJUAN
Pasal 6
(1) Tujuan umum partai politik adalah :
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
c. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-citanya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan secara konstitusional.
BAB V
FUNGSI, HAK, DAN KEWAJIBAN
Pasal 7
Partai politik berfungsi sebagai sarana :
a. pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan
kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan
kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
Pasal 8
Partai politik berhak:
a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;
b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya
dari Departemen Kehakiman sesuai dengan peraturan perundangundangan;
d. ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang tentang Pemilihan Umum;
e. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di lembaga perwakilan
rakyat;
f. mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga
perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
g. mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
h. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Partai politik berkewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
lainnya;
b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional;
d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;
e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik;
f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;
g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;
h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah
sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh
masyarakat dan pemerintah;
i. membuat laporan keuangan secara berkala satu tahun sekali kepada
Komisi Pemilihan Umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan
j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan
menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik
kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah
hari pemungutan suara.
BAB VI
KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA
Pasal 10
(1) Warga negara Republik Indonesia dapat menjadi anggota partai politik
apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan partai politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak
diskriminatif bagi setiap warga negara Indonesia yang menyetujui
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Kedaulatan partai politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan
menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
(2) Anggota partai politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan, hak
memilih dan dipilih.
(3) Anggota partai politik wajib mematuhi anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga serta berkewajiban untuk berpartisipasi dalam kegiatan
partai politik.
Pasal 12
Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat
dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat
apabila:
a. menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang
bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain;
b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena
melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; atau
c. melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang
menyebabkan yang bersangkutan diberhentikan.
BAB VII
KEPENGURUSAN
Pasal 13
(1) Partai politik mempunyai kepengurusan tingkat nasional dan dapat
mempunyai kepengurusan sampai tingkat desa/kelurahan atau dengan
sebutan lainnya.
(2) Kepengurusan partai politik tingkat nasional berkedudukan di ibu kota
negara.
(3) Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis
melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan
keadilan gender.
(4) Dalam hal terjadi pergantian atau penggantian kepengurusan partai
politik tingkat nasional sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga, susunan pengurus baru didaftarkan kepada Departemen
Kehakiman paling cepat 7 (tujuh) hari dan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak terjadinya pergantian atau penggantian
kepengurusan tersebut.
(5) Departemen Kehakiman memberikan keputusan terdaftar kepada
pengurus baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 7
(tujuh) hari setelah pendaftaran diterima.
Pasal 14
(1) Apabila terjadi keberatan dari sekurang-kurangnya setengah peserta
forum musyawarah atau terdapat kepengurusan ganda partai politik
yang didukung oleh sekurang-kurangnya setengah peserta forum
musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), keberatan
itu diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila penyelesaian melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, para pihak dapat
mengajukan gugatan melalui pengadilan.
(3) Selama dalam proses penyelesaian, kepengurusan partai politik yang
bersangkutan dilaksanakan untuk sementara oleh pengurus partai politik
hasil forum musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(3).
Pasal 15
Pengurus dan/atau anggota partai politik yang berhenti atau diberhentikan
dari kepengurusan dan/atau keanggotaan partainya tidak dapat membentuk
kepengurusan atas partai politik yang sama dan/atau membentuk partai
politik yang sama.
BAB VIII
PERADILAN PERKARA PARTAI POLITIK
Pasal 16
(1) Perkara partai politik berkenaan dengan ketentuan undang-undang ini
diajukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh
pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari dan oleh Mahkamah
Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari.
BAB IX
KEUANGAN
Pasal 17
(1) Keuangan partai politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan dari anggaran negara.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa
uang, barang, fasilitas, peralatan, dan/atau jasa.
(3) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara
proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di lembaga
perwakilan rakyat.
(4) Tata cara penyaluran bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pasal 18
(1) Sumbangan dari anggota dan bukan anggota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu) tahun.
(2) Sumbangan dari perusahaan dan/atau badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b paling banyak senilai
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dalam waktu 1 (satu)
tahun.
(3) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan oleh
perusahaan dan/atau badan usaha harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
LARANGAN
Pasal 19
(1) Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar
yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, atau lambang negara lain dan nama, bendera, atau
lambang lembaga/badan internasional;
d. nama dan gambar seseorang; atau
e. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan partai politik lain.
(2) Partai politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan
perundang-undangan lainnya;
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; atau
c. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan
pemerintah negara dalam memelihara persahabatan dengan negara
lain dalam rangka ikut memelihara ketertiban dan perdamaian dunia.
(3) Partai politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan
dalam bentuk apa pun, yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
b. menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak
mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. m enerima sumbangan dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan; atau
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, badan usaha milik desa atau dengan sebutan
lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.
(4) Partai politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
(5) Partai politik dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan
ajaran atau paham Komunisme/Marxisme-Leninisme.
BAB XI
PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN
Pasal 20
Partai politik bubar apabila:
a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;
b. menggabungkan diri dengan partai politik lain; atau
c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 21
(1) Partai politik dapat bergabung dengan partai politik lain dengan cara:
a. bergabung membentuk partai politik baru dengan nama, lambang,
dan tanda gambar baru; atau
b. bergabung dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda
gambar salah satu partai politik.
(2) Partai politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
(3) Partai politik yang menerima penggabungan dari partai politik lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3.
Pasal 22
Pembubaran partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a
dan huruf b dan penggabungan partai politik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 diumumkan dalam Berita Negara oleh Departemen Kehakiman.
BAB XII
PENGAWASAN
Pasal 23
Pengawasan atas pelaksanaan ketentuan undang-undang ini meliputi tugas
sebagai berikut:
a. melakukan penelitian secara administratif dan substantif terhadap akta
pendirian dan syarat pendirian partai politik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 5;
b. melakukan pengecekan terhadap kepengurusan partai politik yang
tercantum dalam akta pendirian partai politik dan kepengurusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b;
c. melakukan pengecekan terhadap nama, lambang, dan tanda gambar
partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1);
d. menerima laporan perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga, nama, lambang, dan tanda gambar partai politik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan pergantian atau penggantian
kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(4);
e. meminta hasil audit laporan keuangan tahunan partai politik dan hasil audit
laporan keuangan dana kampanye pemilihan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 huruf h, huruf i, dan huruf j; dan
f. melakukan penelitian terhadap kemungkinan dilakukannya pelanggaran
terhadap larangan-larangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2), (3), (4), dan (5).
Pasal 24
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan oleh:
a. Departemen Kehakiman di dalam melaksanakan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d;
b. Komisi Pemilihan Umum di dalam melaksanakan tugas pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf e; dan
c. Departemen Dalam Negeri melaksanakan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf f.
(2) Tindak lanjut pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Pemerintah tidak melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi dan hak
partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 26
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 5 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan
pendaftaran sebagai partai politik oleh Departemen Kehakiman.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka oleh
Komisi Pemilihan Umum.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf i dan huruf j dikenai sanksi administratif berupa dihentikannya
bantuan dari anggaran negara.
Pasal 27
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran
partai politik oleh Departemen Kehakiman.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara
partai politik paling lama 1 (satu) tahun oleh pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1).
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa teguran secara terbuka
oleh Komisi Pemilihan Umum.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa larangan mengikuti
pemilihan umum berikutnya oleh pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1).
(5) Sebelum dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) pengurus pusat partai politik yang
bersangkutan terlebih dahulu didengar keterangannya.
Pasal 28
(1) Setiap orang yang memberikan sumbangan kepada partai politik
melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 diancam dengan
pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau pidana denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Pengurus partai politik yang menerima sumbangan dari perseorangan
dan/atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 18, diancam dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang mempengaruhi atau memaksa sehingga seseorang
dan/atau perusahaan/badan usaha memberikan sumbangan kepada
partai politik melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18,
diancam dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Sumbangan yang diterima partai politik dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18, disita untuk negara.
(5) Pengurus partai politik yang melakukan pelanggaran sebagaimana
dimaksud pada Pasal 19 ayat (3) diancam dengan pidana kurungan
paling lama 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(6) Pengurus partai politik yang menggunakan partainya untuk melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (5) dituntut
berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan
terhadap Keamanan Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, dan huruf
e, dan partainya dapat dibubarkan.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) (1) Partai politik yang menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik telah disahkan sebagai badan hukum oleh Menteri
Kehakiman Republik Indonesia diakui keberadaannya dan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini selambatlambatnya
9 (sembilan) bulan sejak berlakunya undang-undang ini.
(2) Partai politik yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dibatalkan keabsahannya sebagai badan hukum dan tidak
diakui keberadaannya menurut undang-undang ini.
(3) Dengan berlakunya undang-undang ini, penyelesaian perkara partai
politik yang sedang dalam proses peradilan menyesuaikan dengan
ketentuan undang-undang ini.
Pasal 30
Sebelum Mahkamah Konstitusi dibentuk, kewenangan Mahkamah Konstitusi
yang berkaitan dengan pembubaran partai politik dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-undang Nomor 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3809) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 32
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang
ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 138
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan II,
ttd.
Edy Sudibyo
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 2002
TENTANG
PARTAI POLITIK
I. UMUM
Pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah
satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.
Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah
kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik merupakan
komponen yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, penataan
kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, yaitu memberikan kebebasan,
kesetaraan, dan kebersamaan.
Melalui kebebasan yang bertanggung jawab, segenap warga negara memiliki hak untuk
berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan
merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga negara berpikir dalam kerangka
kesederajatan sekalipun kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan
merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk
tantangan lebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam
menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk
bangsa dan negara yang padu.
Di dalam sistem politik demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplementasikan agar
dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan
secara utuh. Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada
partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan
kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab
berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui penataan kehidupan kepartaian, di samping adanya
sistem dan proses pelaksanaan pemilihan umum secara memadai.
Keterkaitan antara kehidupan kepartaian yang sehat dan proses penyelenggaraan pemilihan
umum akan dapat menciptakan lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang lebih berkualitas.
Untuk merancang keterkaitan sistemik antara sistem kepartaian, sistem pemilihan umum dengan
sistem konstitusional, seperti tercermin dalam sistem pemerintahan, diperlukan adanya
kehidupan kepartaian yang mampu menampung keberagaman.
Untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan,
diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, yaitu sistem
multipartai sederhana.
Dalam sistem multipartai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerja sama menuju sinergi
nasional. Mekanisme ini di samping tidak cenderung menampilkan monolitisme, juga akan lebih
menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara
optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan
kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan
partai-partai yang ada.
Partai politik sebagai peserta pemilihan umum mempunyai kesempatan memperjuangkan
kepentingan rakyat secara luas, mengisi lembaga-lembaga negara, dan untuk membentuk
pemerintahan.
Partai politik melalui pelaksanaan fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, perumusan dan
penyaluran kepentingan serta komunikasi politik secara riil akan meningkatkan kesadaran dan
partisipasi politik masyarakat, merekatkan berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat,
mendukung integrasi dan persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum,
menghormati hak asasi manusia, serta menjamin terciptanya stabilitas keamanan.
Dalam rangka menegakkan aturan dalam undang-undang ini, diperlukan pengawasan dan sanksi
terhadap pelanggaran atas ketentuan undang-undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 adalah bahwa pembentukan,
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maksud, tujuan,
asas, program kerja dan perjuangan partai politik tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah provinsi,
sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota, dan sekurangkurangnya
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota yang
bersangkutan adalah hasil penghitungan dengan pembulatan ke atas.
Kabupaten/kotamadya administratif di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta kedudukannya
setara dengan kabupaten/kota di provinsi lain.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai persamaan pada pokoknya dengan nama, lambang,
dan tanda gambar partai politik lain adalah tidak memiliki kemiripan yang menonjol yang nyatanyata
menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara
penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan
tanda gambar partai politik lain.
Huruf d
Yang dimaksud dengan mempunyai kantor tetap adalah mempunyai alamat sekretariat yang
jelas yang ditunjukkan dengan dokumen yang sah dan ketentuan ini berlaku dari pusat sampai
dengan tingkat kabupaten/kota.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Penggunaan dana bantuan dari anggaran negara kepada partai politik dilaporkan setiap tahun
kepada Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, dan diaudit oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan rekening khusus dana kampanye adalah rekening yang khusus
menampung dana kampanye pemilihan umum, yang dipisahkan dari rekening keperluan lain.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan berkedudukan di ibu kota negara adalah dapat berkantor pusat di DKI
Jakarta, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi.
Ayat (3)
Kesetaraan dan keadilan gender dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara
signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap tingkatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Sepanjang tidak diatur tersendiri dalam undang-undang ini, tata cara penyelesaian perkara partai
politik dilakukan menurut hukum acara yang berlaku.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan anggaran negara adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan lembaga perwakilan rakyat adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota.
Partai politik yang mendapatkan kursi di :
a. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diberi
bantuan keuangan yang bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara;
b. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi diberi
bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi; dan
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota diberi
bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
Bantuan yang dimaksud dilaksanakan oleh pemerintah dan disampaikan kepada partai politik
untuk biaya administrasi dan/atau sekretariat partai politik sesuai dengan kemampuan keuangan
negara dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dikecualikan dari perusahaan atau badan usaha lain adalah badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan lambang negara Republik Indonesia adalah burung Garuda Pancasila
dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Penggunaan sebagian dari gambar/simbol yang ada
dalam lambang negara tidak termasuk dalam ketentuan ini.
Huruf b
Yang dimaksud dengan lambang lembaga negara adalah lambang dari lembaga-lembaga negara
yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Yang dimaksud dengan lambang pemerintah adalah lambang instansi pemerintah seperti
departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan nama, lambang, dan
tanda gambar partai politik lain adalah memiliki kemiripan yang menonjol yang nyata-nyata
menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara
penulisan maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam nama, lambang, dan
tanda gambar partai politik lain.
Dalam hal terdapat partai politik yang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar partai politik lain, maka partai politik yang terdaftar lebih awal di Departemen Kehakiman
yang berhak menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar tersebut. Partai politik yang
mendaftar lebih akhir harus mengubah nama, lambang, atau tanda gambarnya.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pihak asing adalah warga negara asing, organisasi kemasyarakatan
asing dan pemerintahan asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan identitas yang jelas adalah meliputi keterangan tentang nama dan alamat
lengkap perseorangan atau perusahaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggabungan partai-partai politik dideklarasikan serta dituangkan dalam berita acara
penggabungan dan didaftarkan ke Departemen Kehakiman sesuai dengan ketentuan undangundang
ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Hal-hal yang belum diatur akan diatur kemudian dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan pengurus dalam Pasal 28 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) adalah unsur
pengurus partai politik yang melakukan tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
pasal tersebut.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4251

Tidak ada komentar:

Posting Komentar